Product Designer. Penjelasan dari Mas Borrys
Iosi Pratama
Iosi Pratama
Penjelasan dari Mas Borrys tentang Product Designer yang meliputi tanggung jawab, struktur tim, dan workflow di tim desain.
Pagi ini saat tiba di kantor, saya langsung membuka slack seperti biasanya. Setelah aplikasi ini terbuka terlihat disitu bahwa Mas Ardho (CEO di Djavaweb tempat saya bekerja) membagikan sebuah link ke artikel di medium nya Belajar UX.
Aku tahu disitu bahwa Channel Belajar UX ditulis oleh Mas Borrys Hasian. Artikelnya disini https://belajarux.com/product-designer-tanggungjawab-struktur-tim-dan-workflow-6130acfdc1f1
Beberapa link dan social media Mas Borrys buat yang ingin mengenal Mas Borrys lebih mendalam dan agar kamu mendapatkan wawasan seputar design yang telah beliau share.
Facebook https://www.facebook.com/borrys
Linkedin https://www.linkedin.com/in/borryshasian/
Medium https://belajarux.com/@borryshasian
Youtube https://www.youtube.com/user/borryshasian
... Setelah membaca artikel tersebut saya jadi tahu gambaran besar tentang product designer dari seorang Mas Borrys.
Selama ini aku membaca product design kebanyakan tim luar dimana mereka memiliki tim design yang besar yang sangat spesifik role nya. Disini saya coba share penjelasan tentang product designer dari Mas Borrys. Penjelasan dibawah ini menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Mas Borrys sendiri.
Kalau kita lihat job description yang ada di LinkedIn misalnya, posisi Product Designer dan sejenisnya (UX Designer, UI Designer, etc), bisa ditemukan 1001 variasi dari tanggung jawab seorang Product Designer.
Favorit saya, sejalan dengan definisi inovasi dari Tom Kelley-nya IDEO, bahwa inovasi itu adalah sweetspot (belum ketemu Bahasa Indonesia yang pas untuk ini) antara User Desirability, Business Viability, dan Technology Feasbility. Nah tanggung jawab dari Product Designer ini adalah sebagai untuk mencari sweetspot tersebut.
User Desirability, terjemahan langsungnya adalah Keinginan Pengguna, tapi dalam prakteknya mencakup bukan hanya apa yang user inginkan, tapi juga apa yang mereka butuhkan dan harapkan, termasuk segala pain points (kesulitan-kesulitan) mereka.
Business Viability, kira-kira artinya Kelangsungan Bisnis, adalah tentang bagaimana produk yang kita disain membantu bisnis untuk tumbuh dan berkelanjutan. Kemudian yang ketiga,
Technology Feasibility, adalah bagaimana membangun produk tersebut. Product Designer berkolaborasi dengan tim internal (bisnis, produk, teknologi) untuk mendisain dan membangun solusi untuk pengguna.
Untuk saya sendiri, metode yang saya gunakan untuk berkolaborasi tersebut adalah Google Design Sprint (silakan lihat slide saya:
Solving Design and Business Problems with Design Sprint.
Struktur Tim Design yang ideal, sejauh pengalaman saya, adalah:
Product Designer — Fokus di UX, fasilitator Design Sprint, Prototype.
Visual & Interaction Designer —Memoles prototype yang dibuat Product Designer, membuat detail dari micro-interaction/interaction design, illustrator.
Copy Writer and Content —Membuat copy yang sesuai dengan budaya dari target user/market, merencanakan content yang engaging dan fun.
Researcher — Melakukan riset mendasar tentang perilaku pengguna dan bekerja bersama Product Designer untuk memvalidasi ide bisnis/disain, termasuk prototype yang dibuat.
Kalau kita lihat high level flow dari product development, secara umum biasanya Planning -> Research -> Solutioning -> Validation -> Development -> Testing/QA -> Beta -> Launch.
Tergantung level dari Product Designer tersebut, untuk level lead/head biasanya ikut dalam Product Planning, menentukan strategi dan roadmap dari produk. Research, utamanya dilakukan oleh Researcher, tapi Product Designer untuk produk yang bersangkutan biasanya ikut serta, dan disini biasanya tujuan riset adalah untuk mempelajari perilaku umum pengguna dan menggali kebutuhan/keinginan/masalah mereka.
Setelah itu, masuk ke proses Solutioning. Berbagai insights dikumpulkan, disintesis, dan secara kolaboratif memunculkan berbagai alternatif solusi.
Berbagai alternatif solusi ini kemudian di validasi (di tes) dengan pengguna sebenarnya. Biasanya validasi ini berbentuk Usability Testing, dimana prototype yang dibuat oleh Product Designer akan digunakan oleh pengguna, dan feedback/masukan dari pengguna akan digunakan untuk memperbaiki konsep/solusi yang di disain, untuk kemudian divalidasi kembali.
Setelah hasil validasi cukup memuaskan, Visual/Interaction Designer akan memoles prototype yang dibuat, disaat yang sama Product Designer akan melengkapi disain supaya lebih detail, termasuk berkolaborasi dengan copy writer untuk memfinalisasi semua teks yang ada di produk, dan engineer, menggunakan prototype yang ada, memulai development.
Product Designer berkolaborasi dengan engineer, memastikan bahwa mereka membangun sesuai dengan disain yang dibuat, termasuk detail dari produk seperti ukuran button, jarak berbagai elemen, transisi dengan waktu yang tepat, dll.
Setelah selesai development, masuk ke QA/Testing, Product Designer juga ikut mentest end-to-end flow, termasuk mencek detail dari setiap screen yang ada. Saat masuk ke Beta pun Product Designer mesti mencoba produk yang telah dibuat, berkolaborasi dengan Product Manager untuk menampung feedback dari pengguna.
Setelah launch, tugas Product Designer tidak berhenti. Setiap produk mesti memiliki target/patokan keberhasilan, sebutannya metrics. Contoh metrics: Mendapat pengguna baru yang menyelesaikan registrasi sebanyak 20.000 di 3 bulan pertama, atau Jumlah pelanggan yang membeli paket A adalah 1.000 di 3 bulan pertama. Product Designer mesti mencek metrics tersebut, dan biasanya menggunakan data analytics dan kombinasi dengan research, memperbaiki disain/flow sehingga target metrics bisa tercapai.
Dan begitu seterusnya, memperbaiki produk yang ada, memikirkan solusi lain, atau mungkin membuat produk/fitur baru, untuk mencapai sweetspot yang dibahas diawal. Ditambah dengan kerasnya persaingan dari kompetitor, membuat kerjaan Product Designer tidak pernah beres :)