Aku bermimpi menjadi Gubernur

Iosi Pratama

Dalam bulan puasa, tidur adalah ibadah. Tapi dalam tidur tadi malam, saya bermimpi yang indah sekaligus aneh. Saya bermimpi menjadi Gubernur Ibukota Republik Indonesia. Suatu impian yang tidak pernah saya impikan.

Di dalam mimpi yang saya ceritakan ini, ternyata ibukota negara tidak lagi di Jakarta, tapi di Hambalang. Jadi, ada apa dengan Jakarta? Saya paham mengapa Jakarta ditinggalkan. Jakarta sudah dianggap sudah tidak layak lagi. Ia terlalu multifungsi, sebagai kota pusat bisnis terbesar, kota wisata teramai, kota politik tersibuk, kota administrasi paling kompleks, dan berbagai predikat lain. Jakarta akhirnya menjadi kota terpadat penduduknya, termacet lalu lintasnya, terkumuh perkampungannya, terkotor sungai dan lautnya, dan sebagainya.

Kondisi demikian semakin lama sepertinya tidak mungkin akan berkurang. Sungguh zalim bila tetap dipaksakan menjadi ibukota negara.

Ibukota negara sebesar Nusantara, haruslah kota yang tenang, nyaman, sejuk, damai dan indah. Dengan demikian maka para pemimpin nasional dapat berpikir dan merenung dalam suasana jernih dan tenang.

Tapi mengapa ibukota berpindah ke Hambalang, kawasan beken yang kini mulai terlupakan? Hal ini juga mudah dipahami. Hambalang tidak terlalu jauh dari Jakarta, sehingga urusan berpindahnya ibukota bisa diselenggarakan secara seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya. Biayanya pun tergolong murah meriah. Poin lainnya, di Hambalang sudah banyak tanah yang dibebaskan menjadi milik negara, sehingga tidak sulit untuk urusan pembebasan tanah. Alam di Hambalang cukup sejuk dan indah karena relatif masih kosong, sehingga sangat mudah untuk menyusun tata-kota yang ideal.

Meniru Washington DC yang dulu pindahan ibukota AS dari Philadelphia, sejak tahun 1800, kini penduduknya berkisar 750 ribu orang. Canberra yang sengaja dibangun untuk dijadikan ibukota negara Australia tahun 1913, pindahan dari ibukota yang lama Melbourne. Saat ini penduduknya hanya sekitar 200.000 orang. Atau yang paling baru adalah Rio Brasilia dari Rio de Jenairo, Brazil.

Semua ibukota pindahan tersebut melarang gedung yang terlalu tinggi. Washington melarang bangunannya yang lebih tinggi dari Monument of Indepedence, Monas-nya Amerika. Canberra juga memakai motto “City in the Garden”, tanpa gedung tinggi dan penuh pepohonan. Di Rio Brasilia juga tidak boleh ada bagungan yang bertingkat lebih dari dua lantai, kecuali hotel yang memiliki izin khusus.

Sebagai Gubernur, dalam mimpi itu saya mengintruksikan agar kota Hambalang tidak boleh ada bangunan yang lebih tinggi dari Gunung (bukit) Pancer. Kebijakan ini secara tidak langsung mengendalikan suasana transportasi dan pemukiman. Sehingga walau telah berusia ratusan tahun, nantinya akan tetap terasa nyaman, tenang, sejuk dan damai, layaknya Washington DC dan Canberra saat ini. Gedung MRP dan DPR dibuat bercorak Indonesia, demikian pula perumahan anggotanya, dan kantor perwakilan provinsi yang dibangun dengan gaya arsitektur daerah daerah masing-masing.

Kantor dan perumahan kedutaan negara asing juga saya minta untuk berwajah masing-masing bangsa. Ada gaya Timur Tengah ada model Mandarin dan Asia Timur, ada era Romawi dan ada pertengahan.

Transportasi saya buat agak konservatif, dengan bus umum dan taksi yang disediakan jalur khusus, semacam “bus way”. Semua transportasi umum dilayani pegawai pemerintah pegawai pemerintah daerah yang digaji, bukan model setoran dan tidak ada yang milik swasta seperti angkot dan bis kota dan di Jakarta saat ini.

Tujuannya agar tidak mengejar setoran dan nge-tem di sembarang tempat yang menjadi salah satu penyebab kemacetan lalu lintas

Tulisan ini dikutip dari buku “Berani Korupsi itu Memalukan” yang ditulis oleh Pak Soen’an Hadi Poernomo.  

Categories: Perspective

Back to Blog