Tentang Bekerja di Bali, Surabaya dan Hal-hal diantaranya
Iosi Pratama
Iosi Pratama
Bekerja di Bali menjadi sebuah tantangan sekaligus kenikmatan tersendiri yang Allah berikan kepada saya.
Sejak saya tiba di Bandara Ngurah Rai 10 November 2019 yang lalu hingga sekarang 29 Februari 2020 tulisan ini dirangkai, hal-hal baru yang mengacak pikiran silih bergantian menghampiri.
Wow. Subhannalah.
Adalah kata-kata yang begitu sering keluar secara tidak sadar.
Di Bali, kondisi dan lingkungan agak berbeda daripada di Surabaya tempat saya asal.
Ketika di Surabaya, saya telah dibiasakan dengan jalanan datar, gedung-gedung tinggi berdiri di jalanan besar pusat kota, dan begitu banyak pengendara sehingga kepulan asap kendaraan yang menyengat wajah. Ah Rasanya ingin cepat sampai dan menjauh dari jalanan.
Di Bali, tepatnya di Kerobokan, hal yang sebaliknya terjadi. Jalanan naik turun bagai bebukitan, tidak ada gedung tinggi melainkan vila yang begitu hijau asrinya berjejeran. Jarang sekali macet sehingga udara disini begitu nikmat dihirup.
Satu hal yang mungkin masih menjadi kekurang Bali adalah sistem lampu merahnya yang kadang membingungkan.
Di Surabaya, masjid dimana-mana sehingga bila adzan berkumandang akan terdengar, ini memudahkan seorang muslim seperti saya untuk sholat berjamaah.
Di Bali, lagi-lagi Kerobokan adanya masjid berjumlah hitungan jari. Kalau waktunya adzan tentu tidak terdengar karena letak kantor yg tidak berdekatan dengan masjid. Ini memaksa saya sholat sendiri selama di hari kerja dan jam kerja, kecuali saat jum'atan saya tetap keluar kantor menuju masjid.
Lingkungan kerja yang sekarang menjadi latihan tersendiri bagi saya apakah saya mampu menunjukkan perilaku seorang muslim yang baik mengingat saya bekerja dengan teman-teman yang lintas agama. Kristen, Katolik, dan Hindu. Satu dua teman mengaku agnostik.
Di Bali saya melakukan kesalahan. Saya merasa down lebih sering. Beberapa kali kesiangan sehingga tidak sholat shubuh. Memandang yang tidak sepatutnya sehingga bikin pikirin kacau (Di bali, Bule berbikini begitu banyak), serta kesalahan2 lainnya yang mungkin tidak begitu sering saya lakukan saat di Surabaya.
Di Bali, saya memiliki waktu dengan diri sendiri lebih banyak.
Disatu sisi ini berat karena saya kehilangan kehangatan ketika bersama teman kampung di Surabaya.
Disisi lainnya ini memberi saya ruang untuk mengenal diri, berfikir, dan menentukan saya ingin menjadi orang yang seperti apa kedepannya.
Selain itu di Bali juga saya mulai melakukan beberapa kebiasaan positif seperti ke gym, makan makanan yang lebih sehat, serta hal lainnya.
Saya bekerja di perusahaan yang bernama Melalie. Di kemudian hari saya ketahui ada 2 perusahaan disitu, Melalie sebagai startup yang dibangun dan dikembangkan serta ada Itsavirus sebagai digital agency yang mengerjakan proyek dari client luar.
Allah mengenalkan saya dengan orang-orang yang begitu baik, asik, dan sumber saya belajar untuk hal-hal yang belum saya pahami sebelumnya.
Bekerja di Bali bersama dengan beberapa orang dari luar negeri memberikan saya kesempatan untuk bercakap berbahasa inggris. Ini adalah hal begitu saya syukuri mengingat impian saya yang ingin mengunjungi serta belajar ke Eropa suatu saat ini.
Selain itu datang juga kesempatan untuk mengatahui budaya dan cara hidup mereka, bertukar pikiran, dan sebagainya.
Tulisan ini ditulis saat saya sedang duduk di bebatuan besar tepi pantai memandangi lautan dan berbagai aktivitas orang-orang. Angin sepoi-sepoi yang begitu menyegarkan membuat saya tak hetinya berfikir bagaimana cara saya mensyukuri semua nikmat yang Allah berikan.
or you might also like: