Membeli nasi bungkus karena emosi

Iosi Pratama

Allhamdulillah saya barusan sudah buka puasa dengan sebungkus nasi lauk telur. Apa yang membuatnya istimewa sehingga saya menuliskannya disini adalah proses waktu saya membeli nasi tersebut. Ceritanya, waktu menunjukkan pukul 15:23 , saya dan teman sekantor yang sama-sama puasa senin kamis keluar untuk belikan makanan di warung depan. ... Ceritanya udah sampai di warung. Saya tanya, "Mas, segoe onok tah? ", atau "Mas, apakah nasinya ada? " Lalu mas-mas penjualnya yang masih muda dengan semangat menunjukkan letak nasi bungkusnya. Saya melihat disitu adanya nasi tongkol, rempelo, dan telur. Saya melihat, ga ada yang cocok dengan lauk di nasi bungkusnya. Saya cari alasan dengan menanyakan, "Mas, ayam onok nggak?" atau dalam bahasa Indonesia "Mas, apakah ada nasi dengan lauk ayam" Dan pengalaman itu mulai darisini.. Orangnya begitu semangat membuka bungkusan nasi, mencari satu persatu nasi dengan tulisan ayam. Dan akhirnya nggak ada, karena udah aku pastikan nggak ada duluan. Kenapa saya minta ayam. Kemudian mas-mas nya ini dengan antusias ngomong "Oh ga onok mas, ayam e belum netes, sek dadi telor" Karena asyiknya mas-mas penjual nasi di warung itu, saya langsung mengeluarkan uang di dompet dan membeli nasi dengan lauk telur yang tadi di pegang mas penjualnya tersebut. Lalu.. Apa maksut dari tulisan ini? Di tulisan ini, pesan yang ingin saya sampaikan adalah anak muda atau istilah kerennya millineal seperti saya, memutuskan untuk membeli sesuatu bukan hanya berdasarkan fungsi dan manfaat dari barang tersebut semata. Namun lebih kepada emosi yang ngena kepada orang yang membawa atau dalam kasus ini mas-mas penjual nasi tersebut. Darisini lah yang membedakan marketing yang efektif dengan yang tidak pada sebuah produk jika target market nya adalah Millineal. Sangat penting untuk melibatkan emosi mereka. Mungkin sampe sini dulu tulisan ini. Saya mau melanjutkan kerjaan saya.


Back to Blog