Apa-apa yang bukan Iosi

Iosi Pratama

Apa-apa yang bukan Iosi

Cara saya mendefisinikan saya ini orang yang seperti apa.

Beberapa bulan yang lalu saya mengingat sebuah percakapan antara Jason Fried, pendiri dari perusahaan bernama Basecamp yang cukup saya kagumi denggan salah seorang host di youtube - saya lupa namanya.

Di percakapan tersebut Jason Fried sebagai narasumber bercerita bagaimana dia membangun perusahaan yang sesuai dengan idealisme dia. Perusahaan yang fully remote tanpa kantor, tanpa meeting, tanpa lembur, tanpa bantuan investor dalam mengembangkan, dan tanpa-tanpa lainnya.

Ada hal menarik disitu. Tentang Jason Fried dan perusahaannya bukan bahasan saya saat ini. Namun lebih kepada bagaimana dia bisa mendefinisikan perusahaan yang seperti apa. Kepada kita semua penonton percakapan tersebut dia mengatakan

Kami tahu apa-apa yang bukan kami sehingga kami hanya melakukan apa yang sebaliknya yang mendefinisikan kami.

Sekilas seperti biasa apa yang dikatakannya, namun setelah beberapa bulan saya mengingatnya kembali dan menyadari betapa bermaknanya pernyataan dari Jason Fried tersebut.

Disini saya akan mencoba menulis apa-apa yang bukan saya, sehingga saya bisa fokus menghindari hal tersebut dan melakukan hal sebaliknya.

Sebelumnya saya menulis ini buku catatan harian saya, namun saya tergerak untuk membagikannya di blog, siapa tahu ada yang membaca dan menjadi pemacu perubahaan bagi kamu yang membacanya saat ini. Mari mulai dari yang pertama

Berharap apresiasi dan perhatian dari orang lain

Sungguh melelahkan ketika menggunakan waktu hidup saya untuk menarik perhatian orang lain. Mencari foto yang bagus untuk diupload di Instagram untuk mendapatkan likes dari teman-teman. Membuat status Whatsapp sok menunjukkan kegiatan padahal hanya ingin diperhatikan dan ditanggapin.

Semuanya saya muak. Bodo amat. Dengan pola pikir berharap apresiasi dari orang lain, saya justru sering kehilangan esensi dan makna sesungguhnya dari hal yang saya kerjakan dan tunjukan di social media. No more for the next time.

Setelah mencoba untuk tidak berharap apreasiasi orang lain dan fokus melakukan hal-hal yang lebih bermakna dan menyenangkan bagi saya sendiri, saya merasa lebih tenang dan nyaman.

Membatasi Diri, Ga mau berproses

Terkadang saat ada hal baru yang ingin sekali saya lakukan, katakanlah ingin belajar membuat Ilustrasi. Saya bersemangat pada awalnya. Saya belajar, baru beberapa kali kemudian melihat hasil yang belum bagus. Saya malah berhenti.

Membandingkan dengan ilustrasi orang lain yang memang sudah belajar begitu lama. Menganggap saya tidak berbakat di ilustrasi, lalu malas belajar lagi. Disisi lain saya ingin menguasai suatu hal dalam waktu yang cepat. Instan. Dan itu saya tahu nggak banget deh.

Setelah ini, nggak lagi. Saya orang yang akan mencoba tidak membatasi diri sendiri terhadap suatu hal yang baru, percaya bahwa hal-hal yang bersifat keterampilan bisa saya pelajari ketika saya mau lama-lama berlatih. Bersedia untuk berproses.

Pelit untuk membantu keluarga, teman dan orang lain

Yang ini memang bukan saya banget. Orang-orang saya kagumi dalam tokoh Islam seperti Utsman Bin Affan dan Abdurrahman Bin Auf cukup bagi saya untuk menjadi pedoman bahwa harta yang saya punya akan dinilai dari bagaimana kebermanfaatannya terhadap orang-orang sekitar saya.

Namun diakhir-akhir ini saya justru jarang bersedekah atau bisa dibilang berkurang drastis dari kebiasaan yang dulu pernah saya lakukan. Sedekah shubuh, sedekah sarapan di jalan raya, dan sedekah lainnya sudah jarang saya lakukan dalam beberapa bulan terakhir.

Lewat tulisan ini, saya berharap semoga menjadi momentum untuk kembali ke kebiasaan tersebut.

Iri dengan pencapaian orang lain

Terutama misalnya ada teman dekat yang sudah berhasil mencapai suatu keberhasilan, katakanlah berhasil menjadi pembicara disuatu acara besar. Kadang saya merasa iri. Perasaan iri tersebut justru kadang membuat saya justru semakin malas untuk belajar.

Saya sedih melihat pencapaian teman-teman dekat. Saya sadar, justru yang sangat menyedihkan adalah diri sendiri bagaimana saya menanggapi hal tersebut.

Dengan kesadaran penuh, selanjutnya saya akan mencoba untuk bersyukur dengan pencapaian teman-teman dekat. Berharap bisa belajar dari mereka.

Tidak memegang prinsip dalam hidup yg telah dibuat

Dalam hidup ini, saya punya beberapa prinsip yang saya pegang untuk mencapai tujuan-tujuan hidup. Misalnya saya mengimani

(Kami Mendengar dan Kami Taat) yang saya artikan dalam hidup ini, sebagai muslim, Allah telah menunjukkan apa-apa yang boleh dilakukan dan apa-apa yang sebaiknya dihindari. Namun karena begitu kuatnya godaan duniawi dan nafsu serta lemahnya iman saya, saya banyak melakukan kesalahan bahkan secara sadar. Menyedihkan saat mengetahuinya. Selain itu banyak juga nilai-nilai yang saya anut namun saya langgar. Disini saya memahaminya bahwa hal tersebut adalah bagian dari saya belajar untuk terus menerus memegang prinsip yang telah dipegang.

Ga beryukur dengan hal yang saya anggap kekurangan

Kadang karena merasa iri dengan pencapaian dan keadaan orang lain, saya merasa hidup saya ini kurang. Kurang bagus. Merasa minder dan malu. Itu semua ada dipikiran saya. Saya malah ga sadar ketika melihat kediri saya sendiri, saya ini beruntung dibandingkan banyak orang dalam hal-hal yang lain. Saya justru fokus ke hal-hal yang belum saya punya - sedih meratapinya, sedangkan banyak hal yang saya punya justru saya abaikan.

Setelah ini, ga lagi yaa. Pelan-pelan saya akan mencoba untuk beryukur lagi dan fokus kepada hal-hal yang telah saya punya lalu memanfaatkan itu semua untuk menuju tujuan hidup saya.

Tak terasa tulisan ini telah mencapai akhir. Begitulah cara saya mendefinisikan saya seorang yang seperti apa dengan menulis apa-apa yang bukan saya banget.

Tulisan ini ditulis saat saya sedang berada di teras kos-kosan - Bali, sambil memandangi langit merah tanda mendung di hari-hari terakhir Ramadhan 2020.

Categories: Self-help

Back to Blog