Ketika salah persepsi tentang mendaki gunung
Iosi Pratama
Iosi Pratama
Ketika salah persepsi tentang mendaki gunung Aku kira bakal sulit banget, ternyata ehh begitu. Allhamdulillah saya diijinkan oleh Allah untuk melakukan pendakian yang pertama kalinya dalam hidup. Saya dan teman-teman baru pulang dari bromo. Saat saya mulai menulis artikel ini, saya telah sampai dirumah. Sebelumnya, cerita ini bermulai dari percakapan nggak jelas di hari jumat. Seorang teman dekat saya (teman SMK) bertanya tentang sertifikat magangnya yang hilang. Namun, percakapan tiba-tiba jadi gimana kalau kita ke Malang berpetualang, untuk tujuan belum tahu. Yang penting berangkat aja dulu, pikir keri. ... Setelah itu teman saya ini menyetujuinya, dan hari sabtu kita akan berangkat, pulang hari minggu. Singkat cerita, kita sempat memiliki beberapa drama, seperti beberapa teman lain tiba-tiba mau ikut. Kehabisan tiket kereta api maupun yang berdiri. Hingga saat kita memutuskan untuk naik bis ajaa. Apapun caranya apapun resikonya, kita harus berangkat. Itu yang kita pikirkan. Selanjutnya kita bertemu di terminal purabaya. Saat disana juga ada drama lain saat kita sulit menemukan satu sama lain karena off whatsapp. Bener-bener kepercayaannya diuji saat kemarin. Allahmdulillah, setelah lama mencari akhirnya bertemu. Tidak sampai disitu, kita langsung mengubah arah tujuan, dari awalnya mau ke pantai di Malang jadi ke bromo. Saat itu juga hampir keliru masuk bis jurusan malang, beruntung belum berangkat. Setelah googling, kita mendapati bahwa kita sebaiknya menuju probolinggo. Saat itu kita bergegas mencari bis yang ke probolinggo. Perjalanan ke probolinggo kurang lebih 2 jam. Untuk tanya-tanya tentang perjalanan dan tips ketika ke bromo kamu bisa kontak saya nantinya. Oke, lanjut. Saat ini saya sudah balik ke Surabaya dan menulis tulisan ini di rumah. Perjalanan dan pengalaman di bromo sungguh memberikan saya banyak pelajaran dan perenungan lagi. Namun yang saya tulis kali ini bukan tentang pelajaran dan perenungan, tapi lebih kepada beberapa persepsi saya yang ternyata keliru setelah mendaki gunung.
Iya, ini yang paling kerasa diawal. Sebelumnya saya berfikir saat mau mendaki kita hanya modal beberapa uang untuk perjalanan. Sesampai disana full exploring sendiri. Teman-teman juga sama, mereka berfikir ini nggak bakal ngeluarin banyak uang. Mungkin 200-300 Rb cukup lah. Ternyata ehh ternyata, Disana sini bayar. Bahkan disaat kita udah jago nego pun dan dapat banyak diskon biasa pengeluaran lebih dari 2 kali lipat biaya perkiraan. Buat kita tetap mahal. Beruntung, pada punya uang simpanan di ATM. Mendaki gunung memang tidak bayar, namun proses kita agar sampai ke gunung tersebut yang banyak bayarnya.
Setelah sampai bromo dan melihat bagaimana orang sampai ke puncak. Saya jadi tahu alasan dibalik cewek-cewek perawatan tinggi, anak kecil, hingga ibu-ibu berfoto ria di bromo. Ternyata mereka mayoritas menggunakan jeep (semacam mobil khusus di arena pegunungan) toh. Pantas aja. Saya awalnya berpikiran bahwa mendaki gunung itu yaa mendaki. Dari bawah dengan susah payah. Sehingga seseorang yang bisa berada di puncak adalah seseorang yang istimewa. Dengan kegigihan yang tinggi dan kuat. Kerja daras yang berdarah-darah hingga sanggup menancapkan bendera merah putih di puncak. Namun di kenyataannya ternyata menggunakan jeep. Beberapa mayoritas lain menggunakan sepeda motor secara rombongan.
Ini berlaku saat kita berada Cemara Lawang. Berada di dataran tinggi tengger. Saat kita mau sholat, saat itu sholat ashar. Kita mencari masjid, tapi hasilnya nihil. Saat kita bertanya pada penduduk asli tengger, ternyata disana memang gak ada masjid. Yaudah selanjutnya kita sholat di homestay kita, dalam kamar.
Kemarin saya bener-bener hampir gak kuat karena capek dan kedinginan di atas sana. Saat itu bener-bener mati rasa. Pakaian saya sudah tebal, rangkap 3, sapu tangan, dan perlengkapan lainnya yang dapat menambah kehangatan. Kenyataannya, seperti yang sudah saya tulis diatas. Saya hampir nyerah.
Setelah bermalaman bersama turist dan mengelilingi bromo bersama salah satu turist dari korea. Saya bener-bener merasakan bagaimana hidup bersama mereka meskipun sebentar. Mereka bisa marah (saat sopir terlambat) berhumor, makan traktiran kita, dan traktir kita beberapa kali.
Awalnya daya berfikir melakukan traveling suatu waktu sajaa dengan interval waktu yang cukup lama. Namun, setelah merasakan pengalaman berbedanya ketika traveling, saya malah berfikiran dan ingin melakukannya sesering mungkin. Iya, ternyata traveling juga adiktif, bersifat candu. Meskipun kendalanya tetap didana sih, mau nggak mau harus banyak belajar bagaimana mengatur keuangan.