Ber-Meritokrasi di musholla

Iosi Pratama

Hari ini insyaallah saya mau menulis hal bagus yang tak biasanya saya temui di hari-hari biasanya.

Seorang teman saya baru pulang dari pesantren. (Pulang sejenak untuk sebuah keperluan) Usianya kira-kira baru 16 tahun saat itu. Namun sejak kecil pendidikan agamanya begitu kuat hingga beberapa tahun terakhir di pondok pesantren.

Terakhir dia belajar di Pondok Pesantren Sarangan yang terkenal dengan kajian kitabnya. Sebut saja namanya Ghazali Bacaan Al Quran nya bagus, Adzannya merdu, hafalannya kuat, dan terus menggunakan waktunya untuk mengkaji kitab.

Cerita ini terjadi di Musholla - saat magrib. Di musholla tempat biasanya saya sholat ada beberapa orang dewasa yang biasa ngeimamin pun. Saat magrib tiba (hari ini), Ghazali yang adzan. Dan sudah diprediksi, Subhanallah adzannya bagus seperti yang biasa kita dengar di youtube. Saya kagum dan nyaman mendengarnya, dan saya yakin beberapa orang lainnya juga merasakan hal yang sama seperti saya.

Kemudian setelah adzan, membaca pujian, dan iqamah. Orang-orang yang jauh lebih tua umurnya di musholla pun mengakui kepantasan dari Ghazali ini menjadi imam sholat, insyaallah tentunya.

Selanjutnya si Ghazali ini yang mengingamin sholat magrib dan Isya. Allhamdulillah saya bisa belajar beberapa hal penting dari dia, saat waktu magrib ke Isya.

Apa hal yang baru saja terjadi di Musholla inilah yang biasanya terjadi atau dibiasakan di perusahaan terbaik dunia ex: Google, Apple, dll.

Hal ini biasa disebut budaya meritokrasi. Kalau menurutku itu seperti siapa yang lebih mampu, lebih terampil, walaupun dia jauh masih muda dialah yang memimpin.


Back to Blog